PENGERTIAN MUDIK/PULANG KAMPUNG
Kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa; dusun; kampung,
dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota. Mudik berarti pulang ke udik atau pulang
ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Idul Fitri atau Lebaran.
Tradisi mudik merupakan
kebiasaan yang masih belum tergantikan meski dengan adanya teknologi
telekomunikasi seperti handphone
untuk mengucapkan selamat hari Idul Fitri. Mudik merupakan kesempatan untuk
bertemu sanak keluarga dan sekaligus merayakan Idul Fitri bersama-sama.
Ada beberapa alasan mengapa
masyarakat Indonesia sulit meninggalkan tradisi mudik. Pertama, mudik merupakan jalan mencari
berkah dengan bersilaturahmi kepada orang tua, kerabat, dan tetangga. Kedua, sebagai pengingat asal usul daerah
bagi mereka yang merantau. Ketiga,
tradisi mudik bagi perantau di ibu kota adalah saat untuk menunjukkan
eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara
yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Keempat, mudik adalah terapi psikologis memanfaatkan
libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan
sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.
Awalnya mudik
merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa bahkan sejak sebelum masa
Kerajaan Majapahit. Tradisi petani ini saat pulang ke desanya adalah
membersihkan pekuburan makam leluhurnya. Tradisi tersebut bertujuan agar
perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan
aman dan tenteram.
Tradisi pulang ke kampung halaman setahun sekali ini
terus bertahan apalagi dengan adanya Idul Fitri atau Lebaran. Itulah sebabnya,
mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri
berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah
meninggal.
TRADISI PULANG KAMPUNG
Bagi saya, pulang kampung
merupakan “rukun keluarga” yang wajib dilaksanakan. Setahun sekali, secara
bergiliran saya wajib melakukan lebaran di tempat kelahiran. Tahun berikutnya,
saya harus berlebaran di tempat istri, di kota Bandung. Kondisi ini, sudah
berjalan sekitar enam belas tahun. Selama melakukan rukun keluarga, suka dan
duka sering kami alami. Tentu saja kondisi serupa, akan dinikmati pula oleh
keluarga-keluarga lain, yang ikut merayakan tradisi pulang kampung.
Tradisi pulang kampung merupakan fenomena yang tidak mungkin terkikis
oleh budaya global sekalipun. Hal itu disebabkan, mudik merupakan identitas
rakyat yang kian mengakar. Pada sisi lain, tradisi mudik yang tumbuh seiring
zaman mengokohkan asumsi massa terhadap upaya pelestarian silaturahmi. Pada
kondisi ini gejala sosial-politik kerap muncul kepermukaan. Berbaurnya orang
desa yang lama tinggal di kota lalu kembali ke desa melahirkan kontradiktif.
Sebagian masyarakat pedesaan
menganggap mencari nafkah di kota sangat gampang. Kecenderungan itu disebabkan
realita yang dilihat dari segelintir orang yang pergi merantau ke kota dan
terkesan sukses. Anggapan itulah yang memicu munculnya gejala urbanisasi
masyarakat secara besar-besaran dari pedesaaan ke wilayah perkotaan. Akibatnya
kesenjangan ekonomi kota dan desa menunjukkan titik rawan.
Mudik lebaran adalah tradisi
religius masyarakat kita. Oleh karena itu, kehadirannya cenderung dianggap
“rukun wajib keluarga” yang harus diikuti dan dilaksanakan. Setiap sepekan atau
H-3 menjelang lebaran masyarakat berlomba melakukan mudik dengan memadati jalur
pantura. Fenomena tersebut tidak mungkin terkikis dari agenda masyarakat kita.
Selain memiliki muatan kultural budaya, ekonomi, politik, psikologis, juga
mengandung persepsi bahasa solidaritas.
Kondisi seperti ini semakin hari
semakin melebar. Seiring jumlah urbanisasi yang kian meningkat dari tahun ke
tahun. Kita pahami tradisi mudik merupakan bagian dari prosesi masal yang
digerakan oleh semangat pencarian makna kehidupan dari dua pilar eksistensi,
yaitu nilai ekonomi dan nilai spritual dinamika kehidupan.
Selanjutnya, seperti tampak sadar seluruh masyarakat bergerak oleh
nilai-nilai tersebut dari titik pusat ekonomi tempat kerja yang selama ini
menjadi pusat orientasi kehidupan ke arah titik pusat yang lain, yaitu rumah
dan kampung halaman. Oleh karena itu, mudik lebaran mampu membentuk muatan
perubahan dan perkembangan makna ritual mudik.
DAMPAK MUDIK
Aneka kenyataan dan kecenderungan yang mencuat dari
sisi tradisi mudik yakni merebaknya sikap arogan. Munculnya gejala tersebut
tidak terlepas dari pengaruh kompetisi, eksistensi, profesionalisme, dan
ironisme kota. Metropolitan dalam pemikiran orang awam, berkonotasi sebuah kota
yang serba modern. Praktis warganya pun acap dinilai memiliki kemampuan ekonomi
tinggi. Padahal metropolitan yang melahirkan pemeo hidup nestapa, saat mudik
dipuja.
Apabila budaya ini menjalar, persepsi masyarakat
terhadap pulang kampung lebih terpacu karena ingin memamerkan kekayaan pada
sanak saudara di desa daripada niat suci silaturahmi.
Kita
paham gejala adigung adiguna hanya akan melahirkan kenyataan pahit seperti
sikap emosional dan frontal masyarakat terhadap bahasa pembangunan. Dalam
kerangka inilah sorotan masyarakat terhadap sikap arogan tak pernah luntur.
Arogan bagaimanapun merupakan sikap pragmatisme sosial yang memiliki muatan
hedonistik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi sehingga menjurus pada
tingkah laku ieu aing uyah kidul,
riya dan takabur. Dengan kata lain, tradisi pulang kampung bukan sekedar produk
budaya. Dalam prakteknya, mudik menjadi sarana yang kadang tidak sesuai dengan
tuntutan agama.
DINAMIKA PULANG KAMPUNG
Jika kita cermati dinamika tradisi pulang kampung
dari tahun ke tahun, ada kesamaan fenomena. Fenomena yang dimaksud di antaranya
kenaikan tarif angkutan dan pungutan liar. Kita tidak bisa menutup mata
kenaikan ongkos yang dilakukan pengemudi angkutan lebaran kerap ilegal.
Masih segar dalam ingat kita beberapa tahun yang
lalu peristiwa menjelang lebaran, seorang penumpang bus Jakarta-Solo diturunkan
paksa di tengah jalan tol karena bersikeras mempertahankan tarif standar
“pemerintah”. Selanjutnya, menjelang lebaran ini kerap juga terjadi, “uang
siluman” yang tidak hanya melanda calo dan orang yang memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan, namun aparat yang seharusnya melindungi masyarakat pun sering
terbawa maremaan.
Sikap
tegas, fair, dan berani memberikan
sanksi kepada petugas patroli di jalan
yang berani melakukan kolusi merupakan cermin kedewasaan politis kepolisian
kita. Dalam kaitan ini sikap masyarakat pun dituntut fair, keberanian melaporkan kejanggalan aparat yang ditemui di jalan
pada pihak yang berwenang merupakan kelayakan. Bukan sebaliknya, mendukung pola
oknum polisi secara sembunyi.
Demikian juga dengan penertiban tarif angkutan.
Kenalan pengemudi menjelang dan sesudah lebaran harus menjadi agenda antisipasi
jajaran perhubungan, polisi dan masyarakat. Fakta menunjukkan, hingga kini
sering terjadi adanya kejanggalan tarif. Ketegasan penumpang dengan melaporkan
bentuk “pelecehan” tersebut pada aparat merupakan sikap tanggungjawab bersama.
Sementara pada sisi lain, konsekwensi dari konsep sanksi pencabutan trayek
apabila pengemudi benar memasng tarif seenaknya, jangan hanya menghiasi lebaran
belaka.
Apapun persoalannya, kalau sinyalamen masyarakat
itu otentik, tentu hal ini segera ditindaklanjuti untuk diproses secara yuridis
yang berlaku. Kelemahan umum yang kerap dijumpai dalam gejala ini, yakni
antisipasi aparat yang alot dan adanya gejala kolusi antara petugas dan pemilik
kendaraan. Padahal perkembangan
persoalan di lapangan kadangkala lebih banyak perhatian yang memerlukan pola
titik pandang, sikap, kebijaksanaan futuristik yang fleksibel dan fungsional.
Dinamika dan modus yang terjadi saat pulang
kampung, selayaknya tidak pernah mempengaruhi budaya mudik itu sendiri. Apalagi
menyurutkan tradisi yang satu ini. Masyarakat kita di perkotaan lebih gandrung
menikmati mudik sebagai suasana yang menyenangkan. Karenanya, apapun resiko
yang terjadi pada saat mudik tidak lagi menjadi tolak ukur. Yang menjadi tolak
ukur adalah silaturahmi seraya memperlihatkan “kesuksesan” selama merantau di
perkotaan pada sanak saudara.
Referensi :