WELCOME IN MY BLOG

Sabtu, 28 Desember 2013

Budaya Pulang Mudik



PENGERTIAN MUDIK/PULANG KAMPUNG
Kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa; dusun; kampung, dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota. Mudik berarti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Idul Fitri atau Lebaran.
Tradisi mudik merupakan kebiasaan yang masih belum tergantikan meski dengan adanya teknologi telekomunikasi seperti handphone untuk mengucapkan selamat hari Idul Fitri. Mudik merupakan kesempatan untuk bertemu sanak keluarga dan sekaligus merayakan Idul Fitri bersama-sama.
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat Indonesia sulit meninggalkan tradisi mudik. Pertama, mudik merupakan jalan mencari berkah dengan bersilaturahmi kepada orang tua, kerabat, dan tetangga. Kedua, sebagai pengingat asal usul daerah bagi mereka yang merantau. Ketiga, tradisi mudik bagi perantau di ibu kota adalah saat untuk menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Keempat, mudik adalah terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.
Awalnya mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa bahkan sejak sebelum masa Kerajaan Majapahit. Tradisi petani ini saat pulang ke desanya adalah membersihkan pekuburan makam leluhurnya. Tradisi tersebut bertujuan agar perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan aman dan tenteram.
Tradisi pulang ke kampung halaman setahun sekali ini terus bertahan apalagi dengan adanya Idul Fitri atau Lebaran. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal.
TRADISI PULANG KAMPUNG
Bagi saya, pulang kampung merupakan “rukun keluarga” yang wajib dilaksanakan. Setahun sekali, secara bergiliran saya wajib melakukan lebaran di tempat kelahiran. Tahun berikutnya, saya harus berlebaran di tempat istri, di kota Bandung. Kondisi ini, sudah berjalan sekitar enam belas tahun. Selama melakukan rukun keluarga, suka dan duka sering kami alami. Tentu saja kondisi serupa, akan dinikmati pula oleh keluarga-keluarga lain, yang ikut merayakan tradisi pulang kampung.
Tradisi pulang kampung merupakan fenomena yang tidak mungkin terkikis oleh budaya global sekalipun. Hal itu disebabkan, mudik merupakan identitas rakyat yang kian mengakar. Pada sisi lain, tradisi mudik yang tumbuh seiring zaman mengokohkan asumsi massa terhadap upaya pelestarian silaturahmi. Pada kondisi ini gejala sosial-politik kerap muncul kepermukaan. Berbaurnya orang desa yang lama tinggal di kota lalu kembali ke desa melahirkan kontradiktif.
Sebagian masyarakat pedesaan menganggap mencari nafkah di kota sangat gampang. Kecenderungan itu disebabkan realita yang dilihat dari segelintir orang yang pergi merantau ke kota dan terkesan sukses. Anggapan itulah yang memicu munculnya gejala urbanisasi masyarakat secara besar-besaran dari pedesaaan ke wilayah perkotaan. Akibatnya kesenjangan ekonomi kota dan desa menunjukkan titik rawan.
Mudik lebaran adalah tradisi religius masyarakat kita. Oleh karena itu, kehadirannya cenderung dianggap “rukun wajib keluarga” yang harus diikuti dan dilaksanakan. Setiap sepekan atau H-3 menjelang lebaran masyarakat berlomba melakukan mudik dengan memadati jalur pantura. Fenomena tersebut tidak mungkin terkikis dari agenda masyarakat kita. Selain memiliki muatan kultural budaya, ekonomi, politik, psikologis, juga mengandung persepsi bahasa solidaritas.
Kondisi seperti ini semakin hari semakin melebar. Seiring jumlah urbanisasi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Kita pahami tradisi mudik merupakan bagian dari prosesi masal yang digerakan oleh semangat pencarian makna kehidupan dari dua pilar eksistensi, yaitu nilai ekonomi dan nilai spritual dinamika kehidupan.
Selanjutnya, seperti tampak sadar seluruh masyarakat bergerak oleh nilai-nilai tersebut dari titik pusat ekonomi tempat kerja yang selama ini menjadi pusat orientasi kehidupan ke arah titik pusat yang lain, yaitu rumah dan kampung halaman. Oleh karena itu, mudik lebaran mampu membentuk muatan perubahan dan perkembangan makna ritual mudik.
DAMPAK MUDIK
Aneka kenyataan dan kecenderungan yang mencuat dari sisi tradisi mudik yakni merebaknya sikap arogan. Munculnya gejala tersebut tidak terlepas dari pengaruh kompetisi, eksistensi, profesionalisme, dan ironisme kota. Metropolitan dalam pemikiran orang awam, berkonotasi sebuah kota yang serba modern. Praktis warganya pun acap dinilai memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Padahal metropolitan yang melahirkan pemeo hidup nestapa, saat mudik dipuja.
Apabila budaya ini menjalar, persepsi masyarakat terhadap pulang kampung lebih terpacu karena ingin memamerkan kekayaan pada sanak saudara di desa daripada niat suci silaturahmi.
Kita paham gejala adigung adiguna hanya akan melahirkan kenyataan pahit seperti sikap emosional dan frontal masyarakat terhadap bahasa pembangunan. Dalam kerangka inilah sorotan masyarakat terhadap sikap arogan tak pernah luntur. Arogan bagaimanapun merupakan sikap pragmatisme sosial yang memiliki muatan hedonistik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi sehingga menjurus pada tingkah laku ieu aing uyah kidul, riya dan takabur. Dengan kata lain, tradisi pulang kampung bukan sekedar produk budaya. Dalam prakteknya, mudik menjadi sarana yang kadang tidak sesuai dengan tuntutan agama.
DINAMIKA PULANG KAMPUNG
Jika kita cermati dinamika tradisi pulang kampung dari tahun ke tahun, ada kesamaan fenomena. Fenomena yang dimaksud di antaranya kenaikan tarif angkutan dan pungutan liar. Kita tidak bisa menutup mata kenaikan ongkos yang dilakukan pengemudi angkutan lebaran kerap ilegal.
Masih segar dalam ingat kita beberapa tahun yang lalu peristiwa menjelang lebaran, seorang penumpang bus Jakarta-Solo diturunkan paksa di tengah jalan tol karena bersikeras mempertahankan tarif standar “pemerintah”. Selanjutnya, menjelang lebaran ini kerap juga terjadi, “uang siluman” yang tidak hanya melanda calo dan orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, namun aparat yang seharusnya melindungi masyarakat pun sering terbawa maremaan.
Sikap tegas, fair, dan berani memberikan sanksi  kepada petugas patroli di jalan yang berani melakukan kolusi merupakan cermin kedewasaan politis kepolisian kita. Dalam kaitan ini sikap masyarakat pun dituntut fair, keberanian melaporkan kejanggalan aparat yang ditemui di jalan pada pihak yang berwenang merupakan kelayakan. Bukan sebaliknya, mendukung pola oknum polisi secara sembunyi.
Demikian juga dengan penertiban tarif angkutan. Kenalan pengemudi menjelang dan sesudah lebaran harus menjadi agenda antisipasi jajaran perhubungan, polisi dan masyarakat. Fakta menunjukkan, hingga kini sering terjadi adanya kejanggalan tarif. Ketegasan penumpang dengan melaporkan bentuk “pelecehan” tersebut pada aparat merupakan sikap tanggungjawab bersama. Sementara pada sisi lain, konsekwensi dari konsep sanksi pencabutan trayek apabila pengemudi benar memasng tarif seenaknya, jangan hanya menghiasi lebaran belaka.
Apapun persoalannya, kalau sinyalamen masyarakat itu otentik, tentu hal ini segera ditindaklanjuti untuk diproses secara yuridis yang berlaku. Kelemahan umum yang kerap dijumpai dalam gejala ini, yakni antisipasi aparat yang alot dan adanya gejala kolusi antara petugas dan pemilik kendaraan.  Padahal perkembangan persoalan di lapangan kadangkala lebih banyak perhatian yang memerlukan pola titik pandang, sikap, kebijaksanaan futuristik yang fleksibel dan fungsional.
Dinamika dan modus yang terjadi saat pulang kampung, selayaknya tidak pernah mempengaruhi budaya mudik itu sendiri. Apalagi menyurutkan tradisi yang satu ini. Masyarakat kita di perkotaan lebih gandrung menikmati mudik sebagai suasana yang menyenangkan. Karenanya, apapun resiko yang terjadi pada saat mudik tidak lagi menjadi tolak ukur. Yang menjadi tolak ukur adalah silaturahmi seraya memperlihatkan “kesuksesan” selama merantau di perkotaan pada sanak saudara.

Referensi : 




Selasa, 12 November 2013

Budaya Kerja & Jurnal Penelitian (Jurnal Tentang Kinerja)



BUDAYA KERJA


PT. AQUA DANONE
Visi :
AQUA telah menjadi bagian dari keluarga sehat Indonesia lebih selama lebih dari 30 tahun. Sebagai pelopor air minum dalam kemasan sejak didirikan tahun 1973, kini AQUA menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup sehat masyarakat Indonesia. Dulu dan kini, AQUA tetap dan selalu menjadi yang terbesar dan terdepan di Indonesia. Volume penjualan AQUA merupakan volume penjualan terbesar di dunia untuk kategori air mineral.
Misi :
AQUA selalu ingin melakukan program untuk menyehatkan konsumen Indonesia, diantaranya program AKSI (AQUA untuk Keluarga Sehat Indonesia) dan AuAI (AQUA untuk Anak Indonesia).
Action :
AQUA Group menerapkan nilai-nilai Danone Group, yang menggambarkan visi dan etika binis kami yang unik. Sejarah nilai-nilai ini mencerminkan komitmen perusahaan kami terhadap komunikasi yang terbuka dan kerja bersama. Nilai-nilai Danone dibangun oleh masukan karyawan Danone (Danoner) mengenai nilai-nilai penting apa yang semestinya menggerakkan perusahaan. Hasil kolaborasi ini adalah empat nilai-nilai Danone yang menjadi bagian yang dihormati dan menyatu dalam kegiatan kami sehari-hari. Nilai-nilai ini memandu pengambilan keputusan dan juga cara pandang profesional kami. Nilai-nilai ini melindungi dan memelihara hal yang benar-benar spesial dari budaya Danone.
 
Adapun nilai-nilai Aqua Group sebagai berikut :

1.   Kemanusiaan

a.   Berbagi
Jujur terhadap diri kita sendiri dan orang lain menciptakan dialog, keterbukaan dan kerjasama tim.

b.   Tanggung jawab
Kami memperhatikan keselamatan manusia dan produk dengan seksama, seperti juga kepada alam dan masyarakat.

c.   Penghargaan terhadap orang lain
Kami peka terhadap perbedaan budaya, memperlakukan setiap orang dengan penghargaan yang sama, dan membantu pengembangan para mitra bisnis kami.

2.  Keterbukaan

a.   Rasa ingin tahu
Kesadaran akan apa yang dikerjakan sekarang dan secara proaktif merencanakan masa depan. Dengan menolak cara-cara kerja lama dan usang, kami membuka pikiran kami bagi ide-ide baru dengan penuh imajinasi.

b.   Kelincahan
Melambangkan sifat kami yang penuh semangat dan energi, dengan cepat bereaksi terhadap beragam situasi dengan sikap fleksibel dan beradaptasi.

c.   Dialog
Gaya manajemen kami adalah informal, mendorong sikap mendengar secara aktif dan diskusi terbuka. Kami mendorong perdebatan dan menerima beragam pandangan yang berbeda.


3.  Kedekatan

a.   Kemudahan akses
Gaya manajemen kami adalah mudah ditemui dan terus terang.

b.   Kredibilitas
Jujur kepada diri sendiri dan mengambil tanggung jawab atas beragam tindakan kami.

c.   Empati
Berhubungan dengan para pelanggan, para pemasok dan para pelanggan dengan cara yang tulus untuk membangun ikatan-ikatan dalam membeli dan menjual.

  4.  Antusiasme

a.   Keberanian
Bebas untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, kami mengambil resiko secara cerdas dan mencari jalur-jalur baru yang berbeda. Kami dapat dengan percaya diri mengatasi kegagalan.

b.   Semangat
Kami bekerja dan memimpin dengan penuh keyakinan. Bekerja adalah suatu kesenangan saat kami bisa melampaui apa yang diharapkan dan mencapai keunggulan.

c.   Hasrat menerima tantangan
Dengan sikap yang optimis dan penuh semangat, kami bersemangat untuk tumbuh dan memimpin.




JURNAL TENTANG KINERJA (JURNAL PENELITIAN)





 
1.      Nama Perusahaan        : PT. Astra Honda Motor
Pengarang                  : Soraya Hanuma
Tahun                         : 2005-2006
Sumber                       : http://eprints.undip.ac.id/26355/1/JURNAL.pdf  
2.     Nama Perusahaan        : PT. Bank Mandiri, TBK
Pengarang                  : Andri Priyo Utomo, ST.
Tahun                         : 2008
3.     Nama Perusahaan        : PT. Indofood CBP Sukses Makmur, TBK. Purwakarta
Pengarang                  : DR. Dedi Mulyadi, Kosasih SE., MM, Taing Suhana, SE.
Tahun                         : 2012
4.    Nama Perusahaan        : PT. Indosat TBK.
Pengarang                  : Mega Zanara
Tahun                         : 2012

5.     Nama Perusahaan        : PT. Kalbe Farma TBK.
Pengarang                  : Sandra Aristiani Andriyanto
Tahun                         : 2011
6.     Nama Perusahaan        : PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia
Pengarang                  : Ida Ayu Brahmasari & Agus Suprayetno
Tahun                         : 2008
7.     Nama Perusahaan        : PT. Pekebunan Nusantara III di Sumatera Utara
Pengarang                  : Diana Sulianti K. L. Tobing
Tahun                         : 2009
Sumber                       :         http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/view/17742/17663
8.     Nama Perusahaan        : PT. Telekomunikasi Indonesia TBK.
Pengarang                  : Silvi Junita & Siti Khairani
Tahun                         : 2013
  9.     Nama Perusahaan        : PT. Tunas Dwipa Matra
Pengarang                   : Anisa Tri Bintarti
Tahun                         : 2012
10.   Nama Perusahaan        : PT. Uniliver Indonesia TBK.
Pengarang                   : Siska Andriani
Tahun                         : 2012
 Referensi :

http://anistyas.blogspot.com/2011/04/visi-misi-pt-danone-aqua.html